Minggu, 23 Desember 2018

tamatnya garuda jalur eropa

0 komentar
Awal Nopember menjadi hari sedih buat pencinta penerbangan Garuda-Amsterdam karena Dody Yasendri, Manajer Umum Garuda untuk Benelux, Swis, Skandinavia dan Prancis mengumumkan bahwa jalur Jakarta-Amsterdam yang merupakan jalur terakhir ke Eropa itu ditutup karena rugi. Padatnya penumpang yang oleh pihak garuda disebuat bahwa hampir semua di kelas ekonomi, tidak mampu membendung jalur ini tidak 'lipat sayap'. Penjualan kelas bisnis selalu seret, sehingga Garuda terus-menerus mengalami kerugian dalam mengoperasikan jalur Jakarta-Amsterdam. Lebih lanjut Dody menyebut bahwa kepelikan yang dihadapi Garuda saat ini sebenarnya buntut masalah warisan manajemen lama. Pencarian kambing hitam seperti ini sering juga terdengar tatkala Megawati berkuasa. Ekonomi yang morat-marit adalah warisan pemerintah yang lalu. Padahal kalau mau jujur, banyak BUMN hasil karya pemerintahan yang lalu, yang justru seenaknya digadaikan oleh Mega dan konco-konconya. Dan yang paling parah, bahwa hasil penggadaian itu tidak 100% masuk ke kas Negara. Konon banyak yang mencrat ke sana-sini, ke kantong-kantong pemegang kekuasaan. Mungkin sudah menjadi tabiat masyarakat kita yang hanya pandai menunjuk sumber kesalahan tanpa bisa berbuat sesuatu untuk perbaikan. Salah satu hasil analisis pihak garuda sehingga tidak bisa menggaet penumpang kelas bisnis, adalah fasilitas tempat dukuk kelas bisnis yang sudah sangat jauh dari fasilitas kelas yang sama pada penerbangan lain seperti SQ(Singapore), atau MAS(Malaysia). Ketidakmampuan memperbaiki fasilitas ini, disebabkan keadaan kondisi keuangan Garuda yang lebih banyak minus sejak pertengahan tahun 90-an yang lalu. Dari sudut pandang pencinta kelas ekonomi, ada beberapa keanehan yang terlihat dalam pengelolahan Garuda selama ini, khususnya jalur Jakarta-Tokyo. Yang pertama, bahwa ternyata ticket discount buat pelajar dari garuda sekalipun, masih lebih mahal dari ticket discount biasa dari penerbangan lain. Padahal sebagai pelajar yang punya ketebalan kantong terbatas, sudah pasti bahwa penerbangan dipilih berdasarkan murahnya biaya. Maka jangan heran kalau orang Indonesia mau pulang ke negara sendiri, lebih banyak terbang dengan pesawat lain seperti penerbangan milik Singapore, Malaysia, Korea, atau yang lainnya. Bahkan sekitar 10 tahunan yang lalu, sempat booming pulang kampung dengan penerbangan Bangladesh. Dari segi pelayananpun, Garuda menempati tingkat kesopanan pelayanan rendah, minimal dibanding dengan penerbangan yang pernah penulis pergunakan selama seperti, Korea, Singapore, Malaysia dan Jepang. Jepang memang terkenal dengan service-nya yang memuaskan, demikian juga dengan Singapore. Pramugarinya terkesan sopan-sopan dan penuh perhatian sama penumpang. Sementara kalau garuda, terkesan cuek. Lain misalnya kalau tempat duduk kita berkelas, pelayanannya lumayan professional. Kejanggalan terakhir adalah, departure-arrival time yang banyak tidak tepat waktu. Terkesan bahwa jadwal penerbangan yang molor adalah hal yang wajar, dan kurang kelihatan adanya usaha untuk menindak-lanjuti kekurangan-kekurangan seperti ini. Kalau medannya masih di Indonesia, rasa toleransi kita masih tinggi, karena memang masyarakat kita sudah terlanjur di-nina bobok-an oleh kebiasaan buruk suka molor ini, sehingga tidak tepat waktu bukanlah hal yang mesti terlalu dipikirkan. Kita sudah terlanjur membiasakan hal-hal yang sebenarnya negatif. Bisa dibayangkan, bagaimana peluang seorang penumpang untuk melirik Garuda kalau dengan harga ticket yang relatif mahal, sementara pelayanan miskin dan terkesan selalu tidak on time. Kalau segmen pebisnis kelas dunia mungkin parameter yang paling dominan menjadi penentu adalah ketepatan waktu penerbangannya. Jaminan terbang tepat waktu sehingga ada kepastian terhadap agenda mereka. Jadwal penerbangan adalah sejenis perjanjian, dan janji yang tidak tertepati adalah sebuah unsur kekhianatan. Khianat adalah salah satu ciri kemunafikan. Pun kita sudah diperingatkan oleh Yang Maha Kuasa akan pentingnya waktu, tapi kenyataanya bahwa kitalah yang paling tidak menghargai apa yang namanya waktu. Wajar kalau yang berada di golongan yang merugi adalah kita sendiri. (AF, Yokohama)

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini